
Salah satu hal yang sangat terkenang dari Paus Fransiskus adalah hidupnya yang menjadi berkat. Pilihan-pilihan hidupnya untuk terus menggunakan apa yang ia miliki untuk melayani kebaikan sesama akan selalu dikenang. Posisinya sebagai pemimpin tertinggi Gereja Katolik, sebagai lembaga keagamaan yang secara formal mengikuti pemimpin tunggal, memberinya kesempatan untuk menggunakan kekuasaan untuk kepentingannya. Dalam tradisi Gereja, tidak ada pensiun untuk Paus, maka tidak perlu bagi dia untuk membangun pencitraan untuk dipilih kembali. Paus hanya bisa berhenti sebagai Paus kalau ia meninggal atau kalau ia mengundurkan diri atas keinginannya sendiri. Namun, apa yang kita lihat dari sosok Paus Fransiskus adalah sebuah kisah hidup tentang orang yang menggunakan masa kepausannya untuk kebaikan orang lain.
Hidup yang Diberkati dan Memberkati
Terdapat dua pesan penting dari kekristenan yaitu kesadaran bahwa hidup kita diberkati Tuhan dan kesadaran bahwa hidup kita diutus untuk menjadi berkat. Pernyataannya terungkap di dalam injil Lukas yang mengatakan, “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang” (Luk 4: 18-19). Kisah pelayanan Paus Fransiskus menunjukkan kedua hal itu. Ia merasa hidupnya terberkati di satu sisi, dan ia memberkati orang lain di sisi yang berbeda.
Paus Fransiskus dikenal sebagai orang yang tidak amat mempedulikan tentang kepentingan dirinya. Dalam banyak kesempatan, ia menunjukkan kepada orang betapa aneh bagi orang beriman untuk terlalu banyak memikirkan tentang apa yang ia butuhkan lebih dari berpikir tentang apa yang bisa ia bagikan kepada orang lain. Mungkin ini mirip dengan ungkapan dalam bahasa Jawa yang mengatakan, “Aja mung mikir butuhe urip nganti lali mikir apa gunane urip” (Jangan hanya memikirkan tentang kebutuhan hidupmu, sampai kamu lupa yang gunanya hidupmu). Tentang hal ini ada beberapa peristiwa bisa disebut.
Peristiwa pertama adalah pilihannya untuk datang ke Lampedusa sebagai tempat pertama di luar kota Roma yang dikunjunginya paska menjadi Paus. Kunjungan itu berlangsung 8 Juli 2013. Lampedusa adalah sebuah pulau yang membelah Eropa dan Afrika. Di Lampedusa ini terdapat ribuan migran yang datang dari Afrika dan Timur Tengah menuju ke Italia dengan mendamba kehidupan yang lebih baik meski harus melewati lautan yang berbahaya. Para pengungsi melakukan penyeberangan dengan perahu-perahu reyot guna menghindari konflik dan kemiskinan di daerah asal mereka. Di awal kehadirannya di sana, Paus melemparkan sebuah karangan bunga ke laut yang dilakukannya untuk mengenang para migran yang tenggelam sebelum mencapai Eropa. Dalam perayaan Ekaristi yang dipimpinnya, Paus mengecam ketidakpedulian global. Ia menyebut dunia sudah kehilangan rasa tanggung jawab sebagai saudara. Ia mengatakan, “mereka lupa bagaimana menangis” bagi para migran yang hilang di laut. Belum lagi, ia begitu mengecam mereka yang melakukan penyelundupan manusia dan dengan teganya memeras para migran dan membiarkan mereka bertaruh nyawa menuju Eropa. Menjadi pertanyaan penting bagi kita, mengapa nasib orang-orang yang seringkali tidak masuk di dalam pemberitaan ini menjadi begitu penting untuk paus sehingga menjadi prioritasnya. Lebih enak baginya mengunjungi tempat-tempat hebat, tetapi rupanya pilihannya adalah untuk mendatangi orang-orang yang dianggap tiada oleh orang lain.
Peristiwa kedua adalah peristiwa kunjungan Paus ke Irak yang merupakan sebuah kunjungan yang fenomenal. Kunjungan ini merupakan kunjungan pertama seorang paus ke Irak, tempat yang sudah disebut di dalam Alkitab. Peristiwanya terjadi pada 5-8 Maret 2021, setelah sempat tertunda selama satu tahun akibat pandemi Covid 19. Namun, seperti banyak kita tahu, Maret 2021 masihlah masa yang belum benar-benar aman. Kecuali pandemi Covid yang masih tinggi-tingginya, paus juga memiliki kelemahan karena paru-parunya tertinggal satu saja akibat sakit yang dideritanya di masa muda. Masih lagi serangan bom dan roket yang terjadi beberapa minggu sebelumnya di Kota Baghdad, ibu kota Irak. Banyak pihak juga tidak setuju dengan kunjungan ini karena dianggap tidak penting dan dalam situasi yang ada merupakan ide yang tidak baik. Belum lagi, Irak belum benar-benar aman dari ISIS yang secara formal dikatakan bubar di tahun 2019. Kelompok ini mentarget kelompok-kelompok Kristen sebagai salah satu kelompok yang dianggap musuh. Segala alasan itu tidak menyurutkan niat Paus Fransiskus untuk datang ke Irak. Kehadiran ini penting dan dikenang sebagai peristiwa yang simbolik. Sehari sebelum keberangkatan, Paus mengirim video dirinya yang mengatakan, “Saya sangat ingin bertemu dengan Anda, melihat wajah-wajah Anda, mengunjungi tanah Anda, tempat lahir peradaban yang kuno dan luar biasa.” Ia melanjutkan, “Saya datang sebagai peziarah, sebagai peziarah yang membutuhkan pengampunan, untuk memohon pengampunan dan rekonsiliasi dari Tuhan setelah bertahun-tahun perang dan terorisme, untuk meminta Tuhan menghibur hati dan menyembuhkan luka-luka. Dan saya datang di antara Anda sebagai peziarah perdamaian, untuk mengulangi: "Kamu semua adalah saudara" (Mat 23:8). Ya, saya datang sebagai peziarah perdamaian dalam mencari persaudaraan, didorong oleh keinginan untuk berdoa bersama dan berjalan bersama, juga dengan saudara dan saudari dari tradisi agama lain, dalam diri Bapak Abraham, yang menyatukan Muslim, Yahudi, dan Kristen dalam satu keluarga.”
Salah satu peristiwa kunci dalam pertemuan itu adalah kunjungannya kepada Ayatollah Ali AL Sistani, pemimpin karismatis di kalangan umat Islam Syiah pada hari Sabtu, 6 Maret 2021. Sejak 2003, Al Sistani meminta rakyat Irak melindungi kaum minoritas. Dalam fatwanya pada 2014, ia mendorong munculnya milisi Syiah untuk melawan ISIS. Karena inisiatifnya, banyak orang Kristen dan Yahudi terselamatkan. Dalam perjumpaan keduanya, agama yang di beberapa tempat pernah dianggap menjadi sumber perpecahan kembali kepada citra awalnya sebagai pembawa persaudaraan. Dengan sikap teguh, Paus mendorong terjadinya upaya persaudaraan. Ia tidak amat peduli akan resiko, asal ia bisa membawa persaudaraan.
Peristiwa ketiga adalah peristiwa kunjungan panjang ke Asia Tenggara di Indonesia, lalu ke Papua Nugini, Timor Leste dan berakhir di Singapura. Dalam konteks Indonesia, orang terkesan dan terheran-heran dengan berbagai gesture dan wujud ketulusan Paus. Setelah perjalanan 13 jam menaiki pesawat komersial, Paus masih memberikan senyuman tulus yang rupanya mewarnai keseluruhan kunjungannya di Indonesia dan di Asia Tenggara. Teladan kesederhanaan yang diperlihatkannya juga merupakan hal yang luar biasa. Pembicaraan mengenai jam tangannya yang murah, pilihan kendaraan, pilihan tinggal di kedutaan alih-alih di hotel mewah yang sedianya hendak disediakan oleh Negara Indonesia terus terdengar bahkan beberapa bulan setelah kehadirannya di Indonesia. Di negara-negara lain, ia juga tidak berhenti membuat kejutan. Salah satunya adalah apa yang terjadi di Papua Nugini. Di sana ia tidak hanya mengunjungi ibukota negara, tetapi juga mengunjungi satu daerah paling terpencil yaitu Vanimo, Papua Nugini. Vanimo adalah kota yang kecil dengan penduduk sekitar 12.000. Mereka masih sering mengalami kesulitan air bersih dan listrik. Untuk mencapai tempat tersebut, ia menaiki pesawat kargo kepunyaan Royal Australian Air Force menempuh jarak 1.000 km. Ketika mengunjungi mereka, ia membawa serta ratusan kilogram bantuan, yang berupa obat-obatan, mainan, pakaian, dan alat musik untuk anak-anak sekolah. Dia memenuhi undangan dari misionaris Institut Katolik Inkarnate Word, yang berasal dari Argentina, negara asal Paus. Paus menunjukkan keberpihakannya kepada mereka yang ada di pinggir peradaban.
Belajar menggunakan Hati
Orang umum bisa mengatakan bahwa apa yang dilakukannya berlebihan, tetapi kalau kita melihat dari sudut pandang Paus Fransiskus, ia melakukan apa yang harus dikerjakan. Bukankah ini bagian dari pesan Injil, "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya apa pun yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku" (Mat 25: 40). Hal ini selaras dengan ungkapan Paus yang dinyatakan di dalamDilexit Nos, Ensiklik keempat Paus Fransiskus, yang ditulis pada tahun kedua belas masa kepausannya, diterbitkan pada tanggal 24 Oktober 2024. Di sana Paus mengingatkan orang untuk kembali mengingat perjumpaan orang lain sebagai kesempatan untuk kembali kepada hati. Di sana Paus mengatakan, “Mungkin karena perjumpaan dengan orang lain tidak dimaknai sebagai jalan untuk berjumpa dengan diri sendiri, karena pikiran kita dipenuhi oleh individualisme yang tidak sehat. Banyak orang merasa lebih aman untuk membangun sistem pemikiran mereka dalam situasi yang terkendali oleh akal dan kehendak. Mereka tidak mampu memberi tempat untuk hati, terpisah dari kekuatan dan hasrat manusiawi yang dianggap terpisah satu sama lain.”
Semoga sungguh, kita bisa belajar dari Paus Fransiskus yang memilih untuk menyadari diri sebagai orang terberkati dan mencari cara untuk memberkati orang lain. Di satu sisi, ia tidak risau memikirkan dirinya sendiri, di sisi lain tak jarang ia seperti berlebihan mengasihi orang lain yang menderita. Kalau melihat kehidupannya, dan akhir hidupnya yang sungguh memberkati banyak orang, tampaknya model hidup seperti yang dicontohkannya, layak untuk ditiru.
Selamat jalan Paus Fransiskus. Semoga teladanmu kami kenangkan dalam tindakan mengasihi.
Rm. Martinus Joko Lelono, Pr
Pastor Paroki St. Mikael Pangkalan TNI AU Adisutjipto